Di Bawah Langit Jakarta (Part II)


 
Masih di bawah langit yang sama dan di dalam taksi yang sama.....

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ 
Sudah lebih satu tahun hari itu saya lewati, tapi belum juga cerita ini pergi dari kubikel-kubikel memori.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
 
Saya sudah menaiki puluhan bahkan mungkin ratusan taksi, tapi tidak ada yang sespesial hari itu. Saya lanjut saja bercerita dengan supir taksi yang saya ceritakan sebelumnya. Obrolan kami bukan sekedar obrolan ringan pemecah keheningan, ada banyak hal yang kami sampaikan. Dari soal pemilihan rute yang cerdas, hingga politik yang tak juga akrab di mata manusia-manusia macam kami.
Kemudian, telepon sang supir berdering. Ia bahkan meminta izin kepada saya untuk sekedar mengangkat teleponnya. 
Tiba-tiba suaranya hampir terbata-bata penuh kecemasan.  Telepon ditutup kembali. 
Dia tetap melajukan taksinya meski seperti ada banyak cerita dari matanya yang saya lihat dari kaca spion tengah dari bangku penumpang di belakang. 

Jalanan macet saat itu, seperti biasa, saya terpaksa duduk semakin lama di bangku penumpang. Telepon supir berdering lagi. Kali ini suaranya penuh instruksi. "Jual ini, jual itu....." . 

Saya tak berniat menanyakan apa yang terjadi. Terlalu personal buat sang supir, dan terlalu melampaui batas buat seorang penumpang. 
Tiba-tiba, taksi bergoyang hampir kehilangan arah. Tidak terlalu bahaya, meski hampir membuat seluruh jantung saya meluruh karena terkejutnya.
Si supir lantas meminta maaf, dan seketika membuatnya menceritakan telepon yang baru ia terima yang membuat kendali otaknya tak lagi di setir taksi.
"Sang supir sudah 10 tahun menikah, atau mungkin lebih, tapi kini akhirnya dia sedang menunggu kelahiran anak pertamanya yang sedang dikandung istrinya yang ia tinggalkan di kota Lampung. Dari sekian lama penantian yang mungkin menjadi yang paling diharapkannya terjadi, telepon tadi berdering. Adik istrinya menelepon mengabarkan bahwa istrinya terjatuh di kamar mandi, sekarang sedang di rumah sakit. Rumah sakit tidak mau melakukan tindakan lebih lanjut jika administrasi tidak segera dibayar."
Telepon berdering lagi, kali ini suaranya memelas. Mengabarkan bahwa ia akan segera pulang. Menyebutkan seluruh nominal yang ia punya saat ini. 200ribu itupun dengan niat menjual handphone yang kini sedang ia gunakan.
200ribu untuk dikirimkan secepatnya ke rumah sakit. Menyelamatkan nyawa kecil yang sudah dinanti 10 tahun, memastikan bahwa pendampingnya yang menemani hidupnya dalam penantiannya nyawa kecil itu pun terselamatkan.
Apa yang bisa kamu pikirkan dengan uang dua ratus ribu dan biaya rumah sakit. Saya paham betul, dua ratus ribu hanya cukup untuk membayar dokter dalam sekali tatapan mata, dan berlaku hampir di mana saja di negara ini.

Suara nya semakin merendah, mungkin tak enak karena menyadari ada penumpang yang harus tetap ia antarkan sampai tujuan. Saya tak begitu ingat bagaimana detail dialognya di telepon, tapi saya pastikan bahwa saya menahan banyak air mata dalam hati. "Sekarang kakak punya 200 ribu untuk dikirim kalo handphone ini sudah dijual dulu, dikantong ada beberapa puluh ribu"

Saat itu saya sedang menuju perjalanan ke sebuah pusat perbelanjaan ditengah kota jakarta yang mengelilingi bundaran hotel indonesia. Saya berniat membuang kebosanan dengan jalan-jalan sendirian. 
Lalu Tuhan menaruh saya di dalam taksi ini. Saya merasa bersalah pada banyak kesedihan yang sedang saya dengar dan saksikan. Saya pun tak bisa berbuat banyak.

Sang supir menyebutkan semua nominal yang ia punya saat ini untuk menolong nyawa kecil dan ibunya yang ia cintai, pasti dengan sangat.

Ia berusaha tetap tenang walau banyak kesedihan yang hampir tumpah dimatanya, menanyakan saya hendak diturunkan disisi sebelah mana. Ia meminta maaf kembali atas kecerobohannya tadi dan semua cerita yang terdengar oleh saya.

Akhirnya saya sampai juga. Supir tadi segera menyiapkan kembalian melirik uang yang akan saya keluarkan. Dalam saat-saat seperti inipun  ia berusaha tetap profesional dalam pekerjaannya. Hampir semua supir taksi yang saya naiki selama ini tak mengenal istilah kembalian. Hampir semua supir taksi dengan cueknya memotong uang kembalian dan bahkan membulatkan semua nominal argo tanpa meminta keihklasan dari penumpang. Dan saya tau sejak awal menaiki taksi ini. Sang supir berbeda. Ia bekerja dengan sangat profesionalnya bahkan dalam keadaan yang bahkan tidak bisa saya bayangkan jika saya berada di posisinya.

Ia bingung menerima uang yang saya berikan. Menanyakan berkali-kali apakah saya salah menghitung uang. Matanya langsung berkaca-kaca, padahal saya tahu bahwa apa yang saya berikan bukanlah apa-apa Tidak akan mampu membantu menghilangkan semua kesedihannya hari ini. Hanya sekedar menebus keangkuhan rencana saya hari ini. Berkali-kali lagi ia mengucapkan terimakasih. Saya keluar dari taksi masih dengan sedih. Rasanya saya ingin langsung pulang, memeluk ibu saya dan bercerita bagaimana Tuhan mengingatkan saya untuk bersyukur hari itu, bagaimana Tuhan menyindir saya untuk sekedar berbagi :')

Buscar

 

CataTan awaN PutiH

Terlanjur jatuh cinta pada awan

yang menutupi birunya langit,
membuat siang menjadi menyenangkan
...dan memberi banyak inspirasi...

About

Catatan Awan Putih Copyright © 2011 | Tema diseñado por: compartidisimo | Con la tecnología de: Blogger