Masih di bawah
langit yang sama dan di dalam taksi yang sama.....
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Sudah lebih satu tahun hari itu
saya lewati, tapi belum juga cerita ini pergi dari kubikel-kubikel memori.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Saya sudah menaiki
puluhan bahkan mungkin ratusan taksi, tapi tidak ada yang sespesial hari itu.
Saya lanjut saja bercerita dengan supir taksi yang saya ceritakan sebelumnya.
Obrolan kami bukan sekedar obrolan ringan pemecah keheningan, ada banyak hal yang kami sampaikan. Dari soal pemilihan rute yang cerdas, hingga politik yang
tak juga akrab di mata manusia-manusia macam kami.
Kemudian, telepon
sang supir berdering. Ia bahkan meminta izin kepada saya untuk sekedar
mengangkat teleponnya.
Tiba-tiba suaranya hampir terbata-bata penuh
kecemasan. Telepon ditutup kembali.
Dia
tetap melajukan taksinya meski seperti ada banyak cerita dari matanya yang saya
lihat dari kaca spion tengah dari bangku penumpang di belakang.
Jalanan macet
saat itu, seperti biasa, saya terpaksa duduk semakin lama di bangku penumpang.
Telepon supir berdering lagi. Kali ini suaranya penuh instruksi. "Jual
ini, jual itu....." .
Saya tak berniat menanyakan apa yang terjadi.
Terlalu personal buat sang supir, dan terlalu melampaui batas buat seorang
penumpang.
Tiba-tiba, taksi bergoyang hampir kehilangan arah. Tidak terlalu
bahaya, meski hampir membuat seluruh jantung saya meluruh karena terkejutnya.
Si supir lantas meminta maaf, dan seketika membuatnya menceritakan telepon yang baru ia terima yang membuat kendali otaknya tak lagi di setir taksi.
"Sang supir sudah
10 tahun menikah, atau mungkin lebih, tapi kini akhirnya dia sedang menunggu kelahiran anak pertamanya yang sedang dikandung istrinya yang ia tinggalkan di kota Lampung. Dari sekian lama penantian yang
mungkin menjadi yang paling diharapkannya terjadi, telepon tadi berdering. Adik
istrinya menelepon mengabarkan bahwa istrinya terjatuh di kamar mandi, sekarang
sedang di rumah sakit. Rumah sakit tidak mau melakukan tindakan lebih lanjut
jika administrasi tidak segera dibayar."
Telepon berdering
lagi, kali ini suaranya memelas. Mengabarkan bahwa ia akan segera pulang.
Menyebutkan seluruh nominal yang ia punya saat ini. 200ribu itupun dengan niat
menjual handphone yang kini sedang ia gunakan.
200ribu untuk
dikirimkan secepatnya ke rumah sakit. Menyelamatkan nyawa kecil yang sudah
dinanti 10 tahun, memastikan bahwa pendampingnya yang menemani hidupnya dalam
penantiannya nyawa kecil itu pun terselamatkan.
Apa yang bisa kamu
pikirkan dengan uang dua ratus ribu dan biaya rumah sakit. Saya paham betul,
dua ratus ribu hanya cukup untuk membayar dokter dalam sekali tatapan mata, dan
berlaku hampir di mana saja di negara ini.
Suara nya semakin
merendah, mungkin tak enak karena menyadari ada penumpang yang harus tetap ia
antarkan sampai tujuan. Saya tak begitu ingat bagaimana detail dialognya di
telepon, tapi saya pastikan bahwa saya menahan banyak air mata dalam hati.
"Sekarang kakak punya 200 ribu untuk dikirim kalo handphone ini sudah
dijual dulu, dikantong ada beberapa puluh ribu"
Saat itu saya
sedang menuju perjalanan ke sebuah pusat perbelanjaan ditengah kota jakarta
yang mengelilingi bundaran hotel indonesia. Saya berniat membuang kebosanan
dengan jalan-jalan sendirian.
Lalu Tuhan menaruh
saya di dalam taksi ini. Saya merasa bersalah pada banyak kesedihan yang sedang
saya dengar dan saksikan. Saya pun tak bisa berbuat banyak.
Sang supir
menyebutkan semua nominal yang ia punya saat ini untuk menolong nyawa kecil dan
ibunya yang ia cintai, pasti dengan sangat.
Ia berusaha tetap
tenang walau banyak kesedihan yang hampir tumpah dimatanya, menanyakan saya
hendak diturunkan disisi sebelah mana. Ia meminta maaf kembali atas
kecerobohannya tadi dan semua cerita yang terdengar oleh saya.
Akhirnya saya
sampai juga. Supir tadi segera menyiapkan kembalian melirik uang yang akan saya
keluarkan. Dalam saat-saat seperti inipun
ia berusaha tetap profesional dalam pekerjaannya. Hampir semua supir
taksi yang saya naiki selama ini tak mengenal istilah kembalian. Hampir semua
supir taksi dengan cueknya memotong uang kembalian dan bahkan membulatkan semua
nominal argo tanpa meminta keihklasan dari penumpang. Dan saya tau sejak awal
menaiki taksi ini. Sang supir berbeda. Ia bekerja dengan sangat profesionalnya
bahkan dalam keadaan yang bahkan tidak bisa saya bayangkan jika saya berada di
posisinya.
Ia bingung
menerima uang yang saya berikan. Menanyakan berkali-kali apakah saya salah
menghitung uang. Matanya langsung berkaca-kaca, padahal saya tahu bahwa apa
yang saya berikan bukanlah apa-apa Tidak akan mampu membantu menghilangkan
semua kesedihannya hari ini. Hanya sekedar menebus keangkuhan rencana saya hari
ini. Berkali-kali lagi ia mengucapkan terimakasih. Saya keluar dari taksi masih
dengan sedih. Rasanya saya ingin langsung pulang, memeluk ibu saya dan
bercerita bagaimana Tuhan mengingatkan saya untuk bersyukur hari itu, bagaimana
Tuhan menyindir saya untuk sekedar berbagi :')
1 komentar:
Sangat menyentuh. Nice story. Menjadi pengingat.
Posting Komentar